Awal Sebuah Perjalanan : Observasi Lahan Basah Mesangat-Suwi

November 3, 2021

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Sebagai seseorang yang menyukai kehidupan alam, sudah pasti kegiatan di luar rumah adalah hal yang begitu mengasyikkan. Setiap minggu, saya tidak pernah absen untuk mengunjungi pantai ataupun mengeksplorasi tempat baru. Tapi, perjalanan kali ini jelas berbeda. Lantas, apa yang berbeda dari perjalanan sebelumnya?

Perjalanan saya biasanya hanya menikmati indahnya alam ataupun sekadar menghilangkan penat setelah berhari-hari menatap laptop. Kali ini saya memulai perjalanan sekaligus observasi mengenai Lahan Basah Mesangat-Suwi (LBMS). Apakah terdengar asing? Bagi saya, seorang lulusan Linguistik Sastra Indonesia, tentu sangat bertolak belakang. Akan tetapi, saya ingin mengalahkan rasa cemas itu dan mencoba hal baru. Hal ini, jelas membuat saya keluar dari zona nyaman.

Sebelumnya, saya sudah mendapat banyak sekali gambaran mengenai LBMS. Namun, gambaran itu masih terasa samar, karena saya tidak melihat langsung kondisi lingkungan di sana. Tepat tanggal 9 Juli, saya mendapat kesempatan untuk melakukan observasi tersebut. Perjalanan pun dilakukan bersama Tim Konsorsium Yasiwa-Yayasan Ulin dan peneliti dari Balitek (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber daya Alam)

Dari Samarinda menuju Desa Kelinjau Ulu membutuhkan waktu tempuh berkisar 5 – 6 jam. Lama perjalanan ditentukan bagaimana kondisi medan yang akan dilalui. Benar saja, meski kondisi jalan sedikit licin. Bermodal transportasi darat, kami tetap bisa melewatinya hingga sampai di Desa Kelinjau. 

Apa Itu Lahan Basah?

Lahan basah merupakan salah satu aset lingkungan yang penting. Mengapa demikian? Karena terdapat banyak sekali jenis burung dan satwa endemik yang bisa menjadi daya tarik untuk tujuan ekowisata. Memiliki keragaman hayati yang terancam punah, seperti buaya badas hitam (Crocodylus Siamensis), bekantan (Nasalis Larvatus), biuku (Orlitia Borneensis), bangau tongtong (Leptoptilos Javanicus), dan terdapat pula beragam jenis ikan dan satwa lainnya.

Banyak sekali manfaat dari lahan basah, terutama bagi warga lokal yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Sementara bagi satwa merupakan tempat berkambang biak dan bertahan hidup. Untuk itu, peran setiap individu sangat penting untuk menjaga lahan basah tersebut. Efek positif yang akan dinikmati tidak hanya untuk manusia, tetapi membantu keberlangsungan hidup para satwa.

Perjalanan Menuju Lahan Basah Mesangat-Suwi

Lahan basah Mesangat terletak di Kecamatan Long Mesangat, terdiri dari danau Mesangat dan daerah limpasan air, serta sungai di sekitarnya. Lahan basah Mesangat merupakan habitat asli bagi buaya badas hitam (Crocodylus Siamensis). Buaya air tawar ini biasanya berada di sekitar rawa terbuka yang sebagain tertutup vegetasi terapung dan kemudian membangun sarang di atasnya. Buaya badas hitam sebagain besar mencari ikan sebagai makanannya. Oleh karena itu, nelayan meyakini di rawa yang banyak ikan, terdapat pula buaya di sana. 

Mesangat menjadi tujuan pertama untuk dilakukannya observasi. Membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk menuju ke sana. Melihat hijaunya pohon-pohon dan angin yang berdesir. Semacam obat penenang rasanya, sesekali meninggalkan suasana perkotaan yang begitu padat dan bising. Bahkan, perjalanan semakin terasa singkat, karena saya begitu menikmatinya.

Terdapat dua rakit milik Pak Iwan (Staff Yayasan Ulin) yang bisa dijadikan tempat tinggal sementara. Sembari menyiapkan makan siang, saya juga bertukar kisah dengan Beliau. Salah satunya mengenai kondisi lahan basah Mesangat-Suwi yang menjadi tempat untuk mencari ikan bagi nelayan. Banyak sekali jenis ikan yang terdapat di Mesangat, tetapi hanya biawan (Helostoma Temminckii), toman (Channa Micropeltes) dan haruan (Channa Striata) saja yang saya temui. Bahkan, sesekali burung kuntul kecil (Egretta Garzetta) juga ikut menambahkan keindahan di sini. 

Menariknya, relasi antar anggota tim semakin terbangun. Dari yang awalnya tidak saling mengenal, hingga saling bertukar cerita. Rasanya, jauh dari keramaian dan teknologi memang benar-benar merekatkan hubungan satu sama lain. Ditambah sejuknya angin sore, terus membuat kami tidak ingin beranjak. Hari itu, kami bermalam di Mesangat, ditemani dengan hembusan angin malam dan kunang-kunang yang menerangi setiap sudut rakit. Hampir tak terasa, sudah beranjak pagi dan harus bersiap ke tujuan selanjutnya. 

Sebagai tempat kunjungan kedua, lahan basah Suwi yang terletak di Kecamatan Muara Ancalong. Kali ini,  hanya sekadar berkunjung sembari observasi. Perjalahan ke Suwi sedikit lebih lama, yaitu sekitar 1,5 jam. Seolah-olah terhipnotis keindahan alam yang begitu memanjakan mata, bahkan perjalanan tidak terasa begitu lama. Banyak satwa yang dijumpai, mulai dari burung pekaka emas (Pelargopsis Capensis), pecuk ular asia (Anhinga Melanogaster), dan enggang perut putih (Anthracoceros albirostris), serta monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis), hingga lutung (Presbytis Cristata). Terdapat pula 38 jenis ikan, seperti lais (Kryptopterus lais), lepo (Ompok Bimacultas), baung (Mystus Micracanthus), hingga jenis yang dilindungi, yaitu belida (Notopterus sp.)

Dengan begitu, banyak sekali nelayan yang masih mencari ikan di lahan basah Suwi. Bahkan, ada keluarga yang secara temurun menetap atau tinggal di rakit dan berprofesi sebagai nelayan penuh. Biasanya, hasil tangkapan pun langsung dijual dalam keadaan segar atau sudah diolah menjadi ikan asin. Di samping itu, kelompok nelayan Suwi juga berperan dalam menjaga lahan basah. Salah satunya, melarang adanya penggunaan setrum untuk ikan dan berburu bekantan. 

Sayangnya, saat datang hingga pulang, para bekantan belum menujukkan dirinya. Tidak masalah, masih akan ada banyak kesempatan lainnya. Dari hasil observasi mengenai lahan basah Mesangat-Suwi, banyak sekali hal-hal yang didapatkan. Mulai dari gambaran akan kondisi lahan basah dan beberapa kisah yang dapat digali lebih dalam, terutama dituangkan dalam penulisan feature. Hal ini, mengenai peran penting para nelayan yang berkontribusi secara langsung dalam menjaga lahan basah (Marianne Long Luhau). 

 

burung kuntul kecil (Egretta Garzetta) Foto: Nur Linda/Yasiwa
Burung kuntul kecil (Egretta Garzetta) Foto: Nur Linda/Yasiwa

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Artikel Lainnya

Alap-alap Capung, Burung Predator Terkecil di Dunia
Burung Perling Kumbang, Spesies Penyerbuk Tanaman
Mengenal Kucing Tandang yang Kian Terancam Punah

MENGAPA KONSERVASI?

Banyak yang tidak menyadari begitu besar nilai dan manfaat keragaman hayati sebagai dasar dari kehidupan di bumi dan jasa ekologi yang disediakan secara cuma-cuma oleh habitat-habitat alami dalam bentang alam.
Sebagian besar keragaman hayati hidup di luar kawasan dilindungi, yang umumnya merupakan hutan dataran rendah yang memiliki keragaman hayati yang tinggi, lahan basah yang penting untuk tata air, ataupun lahan gambut yang memiliki kandungan karbon yang tinggi.
Ragam pemanfaatan bentang alam merupakan hasil perkembangan dari waktu ke waktu untuk pertanian, perkebunan, perikanan, agroforestry, pertambangan, pemukiman, yang perlu diimbangi dengan alokasi hutan lindung dan konservasi yang proporsional untuk menjaga ketahanan lingkungan
Oleh karena itu, para pihak yang memanfaatkan bentang alam bertanggung jawab untuk mempertahankan keragaman hayati dengan menyisihkan habitat-habitat alami sebagai aset yang penting untuk kehidupan masa depan. Kegiatan inti Yasiwa difokuskan pada pencapaian pengelolaan konservasi praktis dan efektif untuk keragaman hayati dan habitatnya pada beragam pemanfaatan bentang alam tersebut di atas.
Previous
Next

YASIWA, 2020