Bekantan, Satwa Endemik Lahan Basah Suwi

November 3, 2021

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Bekara atau bekantan (Nasalis Larvatus) memiliki hidung panjang yang menjadi ciri khasnya. Menariknya, bekantan juga memiliki ekor yang hampir sama dengan panjang tubuhnya sekitar 559 – 762 mm. Warna rambutnya pun bervariasi, mulai dari coklat kemerahaan pada bagian punggung, dada berwarna krem, hingga kaki dan lengan bewarna putih abu-abu. Terdapat pula perbedaan antara jantan dan betina, yaitu ukuran hidung jantan dewasa lebih besar dari betina dan berat tubuhnya. Jantan bisa mencapai bobot 16 – 22 kg, sementara betina sekitar 7 – 12 kg. Dari keunikan ini yang membuat bekantan sering dijadikan maskot dalam ajang olahraga, khususnya di Provinsi, Kalimantan Selatan.

Habitat Bekantan 

Bekantan merupakan satwa endemik pulau Kalimantan yang menjadi prioritas Konservasi oleh Pemerintah Indonesia. Pasalnya, populasi bekantan semakin berkurang akibat perburuan liar, kebakaran hutan, konversi lahan hutan, dan penebangan hutan. Kerusakan dan hilangnya habitat asli menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup bekantan. 

Pada umumnya, bekantan hidup di hutan mangrove, rawa gambut, dan hutan tepi sungai. Biasanya, bekantan akan menghindari daerah terbuka dan pemukiman manusia. Spesies primata ini hidup di pohon dengan berpindah dari dahan ke dahan lainnya. Pergerakannya pun beragam, bisa dengan melompat maupun bergantung. Bahkan, bekantan juga dikenal sebagai perenang handal, karena telapak kaki dan tangannya memiliki selaput kulit yang menyerupai katak. 

Bekantan Berkembang Biak

Bekantan jantan dan betina memasuki kematangan seksual sekitar usia 4 – 5 tahun. Mereka dapat melahirkan satu bayi dalam satu musim. Biasanya, kurun waktu kehamilan bekantan berkisar 166 hari, di mana melahirkan bayi pada malam hari. Bayi bekantan yang baru lahir akan memiliki warna bulu yang hitam jarang-jarang, serta wajah berwarna biru. Bahkan, para betina akan saling bekerja sama menjaga dan menyusui bayi bekantan lainnya.

Ketika memasuki usia 3 atau 4 bulan, akan terjadi perubahan warna bulu yang menandakan bahwa bayi telah beranjak dewasa.  Kemudian, anak bekantan yang berusia satu tahun akan hidup mandiri dan lepas dari sang ibu. 

Aktivitas Bekantan di Lahan Basah Suwi

Bekantan melakukan aktivitasnya saat pagi dan sore hari. Umumnya, pagi hari bekantan akan mencari makan dengan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Primata ini mengonsumsi tumbuhan dan buah-buahan sebagai pakan utamanya. Terkadang, ia juga memakan serangga tanah saat musim air surut.

Berbeda siang hari, bekantan jarang menampakkan dirinya di Suwi. Sementara sore hari, bekantan akan mencari pohon untuk tidur. Bekantan tidak membuat sarang ketika tidur, melainkan berkelompok dalam satu pohon. Dengan demikian, waktu terbaik untuk melihat bekantan di lahan basah Suwi hanya pagi dan sore hari. 

Status Konservasi Terancam Punah

Keberadaan bekantan menjadi salah satu mata rantai makanan dan ekosistem lahan basah Suwi. Namun, populasinya semakin terancam karena keserakahan dan ulah manusia. Hutan telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Hal ini yang memberikan pengaruh besar terhadap menurunnya populasi bekantan. Untuk itu, dibutuhkan peraturan yang tegas bagi siapa saja yang  merusak habitat atau melakukan perburuan bekantan. Dengan begitu, memberikan efek jera bagi para pelaku. Di samping itu, melestarikan bekantan dan habitatnya merupakan bagian dari menjaga fungsi lingkungan lahan basah untuk tata air, pengaturan iklim mikro, tempat keragaman hayati, dan sumber ikan.(ML)

 

Gambar 2. Bekantan (Nasalis larvatus), Betina Dewasa sedang makan daun muda pohon Sengon (Albizia chinensis), di Lahan Basah Suwi, 18/08/2021 (Nur Linda – Konsorsium Yasiwa dan Yayasan Ulin)
Bekantan (Nasalis larvatus), Betina Dewasa sedang makan daun muda pohon Sengon (Albizia chinensis), di Lahan Basah Suwi, 18/08/2021 (Nur Linda – Konsorsium Yasiwa dan Yayasan Ulin)

 

Kelompok Bekantan (Nasalis larvatus), sedang beraktivitas makan dan istirahat di pohon Rengas (Gluta renghas), di Lahan Basah Suwi, 18/01/2020 (Nur Linda – Konsorsium Yasiwa dan Yayasan Ulin)
Kelompok Bekantan (Nasalis larvatus), sedang beraktivitas makan dan istirahat di pohon Rengas (Gluta renghas), di Lahan Basah Suwi, 18/01/2020 (Nur Linda – Konsorsium Yasiwa dan Yayasan Ulin)

Bagikan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Artikel Lainnya

Alap-alap Capung, Burung Predator Terkecil di Dunia
Burung Perling Kumbang, Spesies Penyerbuk Tanaman
Mengenal Kucing Tandang yang Kian Terancam Punah

MENGAPA KONSERVASI?

Banyak yang tidak menyadari begitu besar nilai dan manfaat keragaman hayati sebagai dasar dari kehidupan di bumi dan jasa ekologi yang disediakan secara cuma-cuma oleh habitat-habitat alami dalam bentang alam.
Sebagian besar keragaman hayati hidup di luar kawasan dilindungi, yang umumnya merupakan hutan dataran rendah yang memiliki keragaman hayati yang tinggi, lahan basah yang penting untuk tata air, ataupun lahan gambut yang memiliki kandungan karbon yang tinggi.
Ragam pemanfaatan bentang alam merupakan hasil perkembangan dari waktu ke waktu untuk pertanian, perkebunan, perikanan, agroforestry, pertambangan, pemukiman, yang perlu diimbangi dengan alokasi hutan lindung dan konservasi yang proporsional untuk menjaga ketahanan lingkungan
Oleh karena itu, para pihak yang memanfaatkan bentang alam bertanggung jawab untuk mempertahankan keragaman hayati dengan menyisihkan habitat-habitat alami sebagai aset yang penting untuk kehidupan masa depan. Kegiatan inti Yasiwa difokuskan pada pencapaian pengelolaan konservasi praktis dan efektif untuk keragaman hayati dan habitatnya pada beragam pemanfaatan bentang alam tersebut di atas.
Previous
Next

YASIWA, 2020